Rangkong Gading

Satu-satunya jenis enggang yang memiliki balung (casque), yang terbuat dari keratin padat. Burung ini merupakan jenis paling terancam punah di Indonesia.

Di akhir tahun 2015, IUCN telah menaikkan status rangkong gading dari Near Threatened menjadi Critically Endangered; satu tahap lagi menuju kepunahan. Sementara itu, Konvensi Perdagangan Jenis Terancam Punah (CITES), telah mencatat burung ini dalam daftar Appendix I, atau terancam dari segala bentuk perdagangan.

Persebaran dan Habitat

Meski mudah dikenali, namun sangat jarang dijumpai. Rangkong gading menghuni hutan tropis yang lebat dengan pohon-pohon besar dan tinggi pada hutan dataran rendah dan hutan bawah pegunungan sampai pada ketinggian 50-1000 m dpl. Ia bisa dijumpai di Sumatra dan Kalimantan (Indonesia), Brunei Darussalam, Malaysia, sebagian populasi kecil di Thailand dan Myanmar. Sedangkan keberadaan rangkong gading di Singapura sudah punah.

Indonesia memiliki habitat rangkong gading terluas. Namun, hanya pohon besar berlubang alami dengan bonggol khas di depannya yang dapat digunakan untuk bersarang. Bonggol tersebut digunakan sebagai landasan saat bertengger, untuk memberi makan induk dan anak yang ada di dalam sarang. Model sarang yang unik ini tidak ditemukan pada jenis-jenis rangkong yang lain.

Identifikasi
 

Rangkong gading burung sangat besar dengan total panjang tubuh berkisar antara 150-180 cm. Berat tubuhnya mencapai 2.610-3.060 gram, rentang panjang sayap 44-49 cm dan panjang ekor bagian tengah 30-50 cm.  

Ciri-ciri umum lainnya: 

  1. Paruh dan tanduknya berwarna merah dengan bagian depan berwarna kuning. Ukuran tanduknya lebih besar dibandingkan paruh. Paruhnya berbentuk runcing pendek dan tidak bengkok.
  2. Terdapat garis berlipat mulai dari atas lingkar mata sampai ujung tanduk.
  3. Bulu tengkuk sampai jambul berwarna hitam, mendekati lingkar matanya bergradasi merah lembayung.
  4. Bulu dada, punggung dan sayap berwarna hitam kecoklatan dengan warna putih di ujung sayapnya. Pangkal sayap bagian bawah tidak berbulu. 
  5. Bulu perut, pangkal kaki dan tunggir berwarna putih kekuningan. 
  6. Ekornya berwarna putih kusam dengan pita hitam mendekati ujung dan terdapat 1-3 bulu ekor yang lebih panjang. 

Dengan ciri khas yakni kulit lingkar mata sampai leher berwarna merah dengan, ukuran tanduk lebih besar pada jantan. Kemudian pada betina, kulit lehernya berwarna putih kebiruan atau kehijauan dengan bercak. Memiliki tanduk yang lebih ramping dan terdapat bercak hitam di ujung paruh  Sedangkan anakan (juvenile) karakteristik jenis kelamin sudah terlihat nyata tapi tanduk masih berbentuk tonjolan kecil.

Balung (casque) di bagian atas paruhnya padat berisi, dengan berat mencapai 13% dari berat tubuhnya. Berdasarkan pengamatan di lapangan, cula tersebut digunakan dalam perkelahian yang kerap terjadi di dekat pohon beringin yang sedang berbuah. Bahkan suaranya terdengar seperti orang tertawa terpingkal-pingkal dan dapat didengar dari jarak dua kilometer.

Pakan

Makanan utama rangkong gading sangat spesifik, sekitar 99% berupa buah beringin/ara (Ficus sp.) berukuran besar. Hanya hutan yang belum rusak yang dapat menyediakan pakan ini dalam jumlah banyak sepanjang tahun. Makanan lain berupa binatang-binatang kecil, hanya dikonsumsi sekitar 1% dari keseluruhan komposisi makanannya.

Perkembangbiakan

Sama seperti semua jenis burung enggang, rangkong gading hanya memiliki satu pasangan selama hidupnya (monogami). Setelah menemukan lubang sarang yang tepat, sang betina akan masuk dan mengurung diri. Bersama rangkong jantan, lubang sarang akan ditutup menggunakan adonan berupa tanah liat yang dibubuhi kotorannya. Celah sempit disisakan pada lubang penutup untuk mengambil hantaran makanan dari sang jantan, dan juga untuk menjaga suhu dan kebersihan di dalam sarang.

Di dalam sarang, sang betina akan meluruhkan sebagian bulu terbangnya (moulting) untuk membuat alas demi menjaga kehangatan telur. Burung betina tidak akan bisa terbang dan bergantung sepenuhnya pada sang jantan, sampai sang anak keluar dari sarang. Tahap bertelur, mengerami, menetas, sampai anak siap keluar dari sarang membutuhkan waktu selama 154-183 hari.

Ancaman

Hilangnya hutan sebagai habitat utama, minimnya upaya konservasi, dan maraknya perburuan adalah perpaduan mengerikan bagi masa depan rangkong gading. Berbagai jenis pohon beringin yang menyediakan makanan utama bagi rangkong gading dianggap tidak memiliki nilai ekonomis sehingga keberadaannya tidak pernah diharapkan.

Sejak jaman Dinasti Ming abad 17, para bangsawan Tiongkok telah mengincar cula atau balung (casque) rangkong gading untuk dijadikan berbagai bentuk hiasan. Investigasi Rangkong Indonesia dan Yayasan Titian yang didukung oleh Dana Konservasi Chester Zoo, mencatat selama tahun 2013 sekitar 6.000 rangkong gading dewasa dibantai di Kalimantan Barat untuk diambil kepalanya. Kemudian, sepanjang 2015 tercatat sebanyak 2.343 paruh rangkong gading berhasil disita dari perdagangan gelap. Permintaan terbesar hasil perburuan paruh rangkong gading berasal dari Tiongkok.

Tahukah Kamu?

Jenis burung ini dilindungi menurut UU No. 5 Th 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan telah tercatat dalam lampiran daftar jenis satwa dan tumbuhan liar dilindungi pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999. Selain itu berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018 memasukkan rangkong gading sebagai jenis prioritas dalam kelompok rangkong.

Dalam budaya Kalimantan, rangkong gading merupakan simbol “Alam Atas” yaitu alam kedewataan yang bersifat maskulin. Rangkong gading dipercaya oleh masyarakat dayak sebagai simbol keberanian, pelindung dan jembatan antara roh leluhur dengan masyarakat dayak. 

Di provinsi paling selatan Pulau Sumatera, rangkong gading memiliki nilai budaya yang melambangkan keagungan dan kepemimpinan bagi masyarakat pribumi Provinsi Lampung.

Apa nama lain dari burung ini? Ada yang menyebutnya Tajai (Dayak Iban), Tajak (Dayak Orung Daan, Tamambaloh Apalin dan Dayak Taman), Tajakuh (Dayak Bukat), Tukup/Taja (Dayak Punan), Tegong (Dayak Belangin), Rangok (Dayak Kanayant/Ahe), Belangin (Dayak Kanayatn, Tantuguk (Dayak Bekumpai Hulu), Holu (Dayak Meratus), Tekung (Dayak Wehea).