Pemburu Dulu, Penjaga Kini
10 October 2018

Berburu adalah sebuah kegiatan yang digemari oleh cukup banyak orang, terutama laki-laki. Bagi masyarakat adat yang hidup di dekat hutan, aktivitas ini menjadi salah satu kegiatan yang dilakukan. Namun, tidak semua masyarakat yang hidup di hutan menggantungkan hidupnya pada berburu. Suku Dayak Iban, salah satu masyarakat adat yang hidup di hutan, justru cenderung bergantung pada tanaman yang ada di hutan sebagai bahan pangan. Itu sebabnya banyak dari orang Dayak Iban yang berladang. Hanya ada segelintir orang Dayak Iban yang berburu.

Verdianus Muling (25) adalah salah satu pemuda Dayak Iban yang suka berburu. Muling, begitu panggilan akrabnya. Setiap kali melintasi hutan, dia selalu membekali diri dengan senapan angin dan ladong (tas terbuat dari rotan) agar ia bisa membawa pulang babi, rusa atau kijang. “Kami tidak pernah menjual hewan hasil berburu. Semua yang didapat, dibagikan kepada keluarga dan tetangga, daging buruan itu juga akan dimakan ramai-ramai” cerita Muling.

Berburu tidak dilakukan setiap hari. Saat berburu pun hasil buruan tidak dapat dipastikan. Bisa jadi membawa banyak hewan hasil buruan, tetapi bisa juga pulang dengan tangan kosong. Muling bercerita, pada tahun 2012 lalu dia bersama teman-temannya berburu, namun tidak mendapatkan apa pun. Saat itu tiba-tiba melintas burung rangkong gading di dekat mereka. Lantaran kecewa belum mendapatkan hasil buruan, dia akhirnya membidik dan menembak burung rangkong tersebut menggunakan senapan anginnya. Bulunya dia gunakan sebagai aksesoris upacara adat, dagingnya dia makan, dan paruhnya dia jual kepada kerabatnya yang tinggal di Dusun Lauk Rugun. Saat itu uang yang didapat dari hasil menjual paruh rangkong gading sebesar satu juta rupiah. Setelah kejadian itu, Muling mengaku tidak pernah menembak rangkong lagi.

“Kami merasa kehilangan rangkong, dulu kalau masuk hutan sering ketemu, tapi sekarang sudah susah. Dulu saya pernah tembak rangkong, tapi itu cukup jadi yang terakhir kalinya” Ujarnya.

Sekarang Muling dimandatkan menjadi wakil Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Bersama Herkulanus Edmundus (Ketua Pokdarwis), dia mempromosikan ekowisata yang dimiliki Sungai Utik. Perjuangan berbuah manis ketika beberapa wisatawan dari luar negeri berdatangan ke Sungai Utik. Selama tiga tahun berturut-turut Mahasiswa dari Universitas Gajah Mada melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Sungai Utik, masing-masing sebulan. Kemudian disusul oleh Mahasiswa dari Universitas Tanjungpura yang melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di sana. Melihat semangat Sungai Utik yang sedang tumbuh, beberapa NGO juga sering memberi arahan untuk kemajuan ekowisata yang dimiliki Sungai Utik.

Sayangnya, meningkatnya kunjungan wisatawan ternyata belum bisa dijadikan sebagai ladang rejeki bagi mereka karena ketidakpastian pendapat yang diperoleh. Mereka mendapatkan penghasilan dari solidaritas wisatawan, sehingga mereka tetap harus mencari pekerjaan yang lain. Para pemuda lebih tertarik mengadu nasib ke Malaysia dengan menjadi kuli bangunan, tetapi mereka tidak ada yang memiliki paspor. Tentu ini berbahaya bagi mereka, karena mempekerjakan pegawai yang tidak punya paspor dilarang memasuki Malaysia.