Konferensi Rangkong, Menggali Kekhasan Rangkong di Kepulauan Indonesia Sambil Belajar dari yang Lain
02 June 2018

Sudah enam kali konferensi rangkong dunia ini dilaksanakan tetapi baru yang ke tujuh ini tim Indonesia mengutus lebih dari tiga orang. Tim Indonesia kali ini terdiri dari enam orang peserta mewakili akademisi, mahasiswa, LSM, serta perusahaan.

Konferensi rangkong ke 7 ini (The 7th International Hornbill Conference) diadakan di Kuching, Sarawak pada tanggal 16-18 Mei 2017. Pelaksanaan konferensi merupakan kolaborasi antara Sarawak Forestry dengan University Malaysia Sarawak dengan mengambil tema Hornbills, Fly Free, Fly High. Konferensi kali ini tentunya membawa beban lebih berat. Terutama karena naiknya status Rangkong Gading (Rhinolax vigil), si enggang berjumbai gading ini menjadi Kritis (Critically Endangered) dari sebelumnya Near Threatened.

Terpilihnya Sarawak menjadi tempat pelaksanaan konferensi sudah ditetapkan jauh hari saat konferensi ke 6 di Manila Philipina. Sarawak adalah salah satu negara bagian Malaysia yang berada di pulau Kalimantan (Borneo). Bertetangga dan berbagi budaya dengan Indonesia melalui kebudayaan campuran Melayu dan Dayak. Negara bagian ini mengenalkan dirinya sebagai “the land of hornbills” atau “Bumi Kenyalang” dengan Rangkong badak sebagai symbolnya. Tidak tanggung-tanggung, begitu kita menjauhi bandara internasionalnya menuju kota, kita sudah dapat melihat patung Rangkong badak ini di sisi jalan layang. Dan tidak tanggung-tanggung pula, pernak-pernik oleh-olehnya didominasi oleh si rangkong ini dengan ciri khas jumbai kuning kemerahan yang mencuat ke atas, tanpa salah identifikasi. Aura magis rangkong yang dianggap sebagai dewa bagi masyarakat Dayak di Serawak tertera langsung pada tarian, kostum, serta asesori tariannya. Meskipun demikian penggunaan bulu rangkong pada asesori tarian dan kostum telah mulai berubah menjadi bulu imitasi. Ini setidaknya memerlihatkan intervensi pemerintah dalam eksploitasi rangkong.

Konferensi rangkong kali ini mencakup 4 sesi pembahasan, status konservasi rangkong, biologi dan perkembang-biakan rangkong, fragmentasi dan konektivitas habitat, serta pentingnya rangkong dalam ekosistem, kultur, turisme dan penyadartahuan. Dengan sebaran utama di Asia, terutama Asia Tenggara, sesi ini merupakan gambaran masalah yang dihadapi rangkong Asia Tenggara. Dalam riset-riset rangkong dan aksi konservasi, Thailand yang telah lama dikomandoi oleh Prof. Pilai Poonswad serta India jauh lebih unggul. Pemerintah Thailand bahkan telah mempunyai laboratorium forensic DNA untuk penegakan hukum satwa liar.

Bagaimana dengan Indonesia? Paparan tim Indonesia merepresentasikan kurangnya standarisasi monitoring rangkong, rangkong pada habitat modifikasi seperti perkebunan kelapa sawit serta pendekatan spesies terutama pada Julang Emas (Rhyticeros undulatus) yang meliputi status populasi di Gunung Ungaran dan informasi variabilitas genetiknya. Bagaimana kami seharusnya merepresentasikan Indonesia? Cecaran pada bagaimana rangkong menggunakan habitat modifikasi seperti sawit sudah seharusnya membuat kita semua berkaca. Pemahaman sejarah alam (natural history) tentang rangkong sangat penting disertai pemahaman metode, analisa, serta interpretasi data sangatlah penting. Rangkong adalah spesies yang menjauhi hutan terganggu. Pemanfaatan pada habitat modifikasi harus dipandang sebagai pemanfaatan habitat sela dan bukan sebaliknya karena interpretasi yang tidak tepat dapat memberikan informasi yang salah kaprah. Namun demikian, tim Indonesia adalah satu-satunya yang mempresentasikan bagaimana rangkong menggunakan habitat modifikasi. Peran High Conservation Value (HCV) di kawasan hutan haruslah lebih digali dengan juga melihat bagaimana pengelolaan hutan modifikasi yang lebih baik. Habitat alami tetaplah menjadi habitat utama bagi rangkong karena di habitat-habitat alami lah sumber utama tersedianya sarang dan sumber makanan alami sebagai penentu utama keberlangsungan populasi rangkong.

Indonesia adalah suatu kepulauan. Dengan 13 jenis rangkong yang tersebar di berbagai pulau, hal ini memerlihatkan bahwa variasi habitat, iklim, dan kondisi lingkungan dapat memberi sentuhan pada dinamika populasi dan perilaku rangkong. Julang Emas di Ungaran, mungkin saja memerlihatkan dinamika yang berbeda dengan Julang Emas di Bali Barat meskipun sifat dasar burung ini sebagai penjelajah adalah sama.

Indonesia beserta beberapa negara Asia Tenggara lain daya kecuali Thailand, tampaknya masih tertatih-tatih dalam riset dan aksi konservasinya. Keunggulan Indonesia adalah sudah berkurangnya sentuhan-sentuhan peneliti asing yang telah diambil alih oleh peneliti-peneliti Indonesia. Namun, peran pemerintah harus lebih besar dalam konservasi rangkong, terutama Rangkong gading. Keberhasilan Indonesia dalam memperjuangkan Rangkong gading menjadi sebuah keputusan dan resolusi pada CITES COP 17 tahun lalu mutlak harus diikuti dengan keseriusan pemerintah dalam konservasi Rangkong gading di lapangan, sehingga para peneliti dan pejuang konservasi tidak bergerak sendirian. Selain itu, mari belajar juga dari negara tetangga kita yang sangat lekat dengan nilai dan simbol kebanggaan dengan mempelajari dan menjaga rangkong supaya bisa tetap terbang untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan.
Yuk kenali jenis rangkong kita!